Beranda >

Berita > Bima Arya Bersama Bogor Historia Telusuri Jejak Kerajaan Pakuan Pajajaran


01 Februari 2020

Bima Arya Bersama Bogor Historia Telusuri Jejak Kerajaan Pakuan Pajajaran

Rencana penataan kawasan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor terus dimatangkan. Berbagai referensi dan masukan dari publik juga ditampung. Terbaru, Wali Kota Bogor Bima Arya bersama komunitas Bogor Historia melakukan ekspedisi mini dengan mengunjungi situs-situs peninggalan Kerajaan Pakuan Pajajaran, Sabtu (1/2/2020).

Dalam perjalanan yang dimulai dari Balaikota Bogor itu, Bima Arya dan rombongan menggunakan kendaraan roda dua untuk menjangkau titik-titik situs di dua kelurahan, yakni Empang dan Batutulis.

Titik pertama yang dituju adalah Batu Dakon, Kelurahan Empang. Batu yang memiliki cerukan-cerukan seperti papan permainan dakon atau congklak ini merupakan peninggalan masa prasejarah (megalitik). Batu ini disebut biasa digunakan sebagai punden oleh masyarakat. Namun, ada pendapat lain mengenai batu dakon adalah sebagai alat upacara ritual masyarakat pra sejarah.

Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Kampung Kebon Pala, Kelurahan Batutulis untuk menengok Situs Kupa Landak. Situs ini merupakan petilasan salah satu tokoh kepercayaan Prabu Siliwangi.

Tak jauh dari titik tersebut, Bima Arya dan rombongan juga melihat Situs Ranggapati yang merupakan tinggalan masa klasik di Bogor, yang kemudian dilanjutkan melewati masa Islam hingga saat ini. Situs ini terdiri dari tujuh buah batu berbagai bentuk.

Masih di kawasan Batutulis, tepatnya di dekat Pasar Balekambang, rombongan juga melihat peninggalan Batu Congkrang. Batu tersebut merupakan tinggalan masa pra sejarah dan merupakan saksi kepurbakalaan bahwa ratusan tahun yang lalu di tempat tersebut sudah ada permukiman manusia.

Beberapa situs lain yang dikunjungi Arca Puragalih dan sejumlah peninggalan yang berceceran di rumah-rumah warga. “Hari ini saya lihat beberapa titik situs yang saya lihat memang kunci utamanya bagaimana kita bisa menggali informasi sebanyak mungkin dan dilakukan kajian sehingga kita bisa memiliki runutan sejarah yang valid,” ungkap Bima Arya.

Menurutnya, peninggalan-peninggalan tersebut harus betul-betul dilindungi. “Kita kumpulkan lagi informasi titik-titik mana saja dan saya minta Kadisparbud, Camat, Lurah untuk memberikan atensi khusus untuk membuat barikade dulu. Jangan sampai yang ada sekarang kemudian dirusak atau hilang. Jadi yang eksisting sekarang kita jaga dulu sembari kita lakukan kajian,” jelasnya.

Ia menambahkan, harus ada tim khusus untuk menyusun versi sejarah yang valid. “Ini memang harus ada tim khusus yang isinya sejarawan, budayawan, arkeolog, komunitas-komunitas juga untuk menyusun versi sejarah yang valid. Karena kita tidak mungkin bisa melakukan penataan kawasan tanpa didasari oleh versi sejarah yang valid,” terangnya.

“Kemarin ada keinginan-keinginan untuk membuat replika keraton tapi itu harus kita lakukan berdasarkan fakta sejarah. Jadi saya kira ini perlu tim lintas elemen. Kita telusuri semua. Kan semua punya versi. Saya menerima juga beberapa versi yang berbeda. Tapi kita runut itu berdasarkan sejarah,” tambahnya.

Mengenai temuan peninggalan yang ada di rumah warga, Bima Arya minta aparatur wilayah untuk mendata dan mengkomunikasikan kepada warga terkait penataan kawasan Batutulis. “Yang penting kita data dulu. Tadi ditemukan di rumah warga yang kita tidak bisa akses. Apakah itu koleksi yang diambil, ataukah memang ada di situ sejak dulu, kan perlu ditelusuri. Yang penting Disparbud, Camat dan Lurah akan fokus dulu ke kawasan ini semuanya. Kita lakukan pendataan, informasi dari warga kita kumpulkan. Kita jaga dulu yang ada,” tandas Bima.

Sementara itu, Ketua Bogor Historia Yudi Irawan mengatakan bahwa apa yang dilakukan Pemkot Bogor menjadi langkah awal yang baik dalam melakukan penataan kawasan heritage Batutulis.

“Akan tetapi ini perlu ditindaklanjuti dengan melibatkan sejumlah pihak termasuk dengan para ahli yang berkompeten di bidang yang berkaitan dengan kepurbakalaan, dan segera melakukan koordinasi atau FGD dengan Balai Arkeologi dan Balai Pelestarian Cagar Budaya,” ujar Yudi.

“Selain melibatkan akademisi, kehadiran komunitas atau volunteer yang konsen dan peduli terhadap peninggalan sejarah juga perlu dilakukan. Di setiap kota/kabupaten itu memang perlu adanya Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) yang didalamnya itu terdiri dari para ahli di bidang arkeologi, antropologi, sejarah, hukum, arsitektur, filologi dan museologi dan komunitas itu ada di binaan mereka,” pungkasnya. (prokompim)