Beranda >

Berita > Tepas Salapan Lawang Dasakerta


07 Desember 2016

Tepas Salapan Lawang Dasakerta

Teras Baru Kota Bogor

Menjelang tahun 2016 berakhir, Kota Bogor memiliki sebuah teras kota. Teras itu disebut Tepas Salapan Lawang Dasakerta (TSLD). Dalam bahasa Indonesia berarti Teras Sembilan Pintu ‘Dasakerta’. TLSD hadir mendampingi dan sekaligus memperkuat kembali eksistensi Tugu Kujang yang telah berdiri sejak 1982.

TSLD menjadi simbol pintu masuk ke Kota Bogor. Sekaligus melambangkan sebuah tepas (teras atau beranda) dari sebuah hunian warga Sunda yang selalu terbuka menyambut para tamunya dengan penuh keramahan. Teras ini juga dirancang untuk menjadi sebuah pelataran dan  ruang publik terbuka. 

Dibangunnya TLSD merupakan dukungan pemerintah pusat terhadap keberadaan Kota Bogor sebagai sebuah Kota Pusaka. Seperti halnya Lawang Suryakancana, pembangunan TLSD merupakan bagian dari program kerja Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Tujuannya untuk mengembangkan potensi kota-kota pusaka (heritage cities) di Indonesia. Kota Bogor menjadi salah satu kota pusaka yang mendapat prioritas.

Sejauh ini Pemerintah Kota Bogor memang telah  bersinergi  dengan para penggiat pelestarian pusaka. Selain itu juga telah menerbitkan  Peraturan Walikota No. 17 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kota Bogor sebagai Kota Pusaka. Dengan demikian pemeliharaan TLSD beserta seluruh pusaka kota lainnya menjadi tugas bersama antara Pemerintah Kota Bogor dan  seluruh masyarakat. 

Sarat Makna

TSLD didesain dengan sarat makna peninggalan pusaka kota. Sepuluh tiang, penopang misalnya, melambangkan ‘Dasakreta’, sebuah konsep yang diabadikan dalam naskah kuna Pakuan Pajajaran. ‘Dasakreta’ mengingatkan setiap orang tentang sepuluh hal yang harus dijaga kebersihannya secara jasmaniah dan rohaniah. Tujuannya  agar setiap orang bisa dekat pada keutamaan amalan baik dan terhindar dari perilaku buruk menyangkut telinga, mata, kulit, lidah, hidung, mulut, tangan, kaki, dubur (tumbung), dan kelamin (baga-purusa).

Kesepuluh tiang tersebut sekaligus menghadirkan sembilan pintu (salapan lawang).  Ini melambangkan sembilan titik ‘pintu’ yang ada pada raga manusia dan menjadi penghubung bagian tubuh manusia dengan alam semesta. Salapan lawang adalah simbol filosofi utama Pakuan Pajajaran yakni ‘Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh’. Tiga sikap dialogis antar sesama insan (silih, saling) itu adalah kunci  pembangunan Kota Bogor yang berkelanjutan. 

Tiga sikap itu, menurunkan sembilan acuan kesejahteraan yakni: 1. Kedamaian (Peace); 2. Persahabatan (Friendship); 3. Keindahan (Beauty); 4. Kesatuan (Unity); 5. Kesantunan (Good-manners); 6. Ketertiban (Ordered by Law); 7. Kenyamanan (Convenience); 8. Keramahan (Hospitality); dan 9. Keselamatan (Safety).  Jadi dengan menjaga 10 bagian dalam raga maka 9 aspek kesejahteraan akan terwujud atau pintu kesejahteraan akan terbuka

Selain itu lawang juga menyiratkan sikap rendah hati. Sikap yang  senantiasa ‘ngalawangan’ (mempersilakan-lewat) siapapun untuk masuk ke Kota Bogor. Sikap itu pula yang terabadikan pada toponimi, seperti Lawang Saketeng, Lawang Gintung, Lawang Suryakancana dan sebagainya.

resmikantugusalapan11

Ruang Publik

Secara fisik TSLD terdiri dari pelataran terbuka. Difungsikan untuk para pejalan kaki, termasuk penyandang disabilitas, jalur lintasan pesepeda. Selain itu terdapat monumen bertiang sepuluh, dua bangunan ‘rotunda’, dan sebuah prasasti yang menyatu dengan tumpuan tiang bendera serta tiga buah dinding yang disiapkan untuk sarana penyampaian informasi Kota Pusaka.

Konstruksi kesepuluh tiang  menjadi penguat kehadiran Tugu Kujang sebagai landmark kota. Juga menjadi penjalin citra visual dan sumbu formal antara Tugu Kujang dengan kawasan terpadu Istana Kepresidenan Bogor dan Kebun Raya Bogor. Selain itu kesepuluh tiang tersebut mengingatkan pada tiang-tiang penopang pusaka Istana Kepresidenan Bogor.   

Desain tiang diolah untuk memunculkan keindahan sekaligus kesederhanaan bunga teratai dan pokok pohon. Ini mewakili pusaka alam yang subur di Kebun Raya Bogor dan  bukan tiruan karakter ‘ionik’ bernuansa Eropa.

Pada kedua sisinya terdapat dua gazebo berbentuk ‘rotunda’. Keduanya menggambarkan keindahan hubungan manusia dalam alam. Sebagaimana telah populer sejak awal 1800-an melalui monumen tanda cinta kasih Sir Stamford Raffles pada Lady Mariamne Raffles. Kini monumen itu menjadi bangunan cagar budaya di dalam Kebun Raya Bogor. 

Sedangkan di puncaknya tertulis semboyan ‘Di nu kiwari ngancik nu bihari, seja ayeuna sampeureun jaga’. Tulisan itu menjadi pengingat bagi siapapun tentang moto Kota Bogor, yang berarti: ‘segala hal di masa kini adalah pusaka  masa silam, dan ikhtiar hari ini adalah untuk masa depan’.

Menjelang peringatan 35 tahun berdirinya Tugu Kujang, peringatan dua abad Kebun Raya Bogor serta peringatan dasawarsa keenam tentang kebijakan ‘nasionalisasi’ aset-aset tinggalan Hindia Belanda yang diformulasikan Presiden Sukarno dari Istana Bogor, maka kehadiran TLSD menjadi momentum penting untuk menghayati kembali hakekat Kota Bogor sebagai Kota Pusaka. (Humas)