Beranda >

Berita > Pendapat Bima Arya Terkait Pemilu Serentak 2019


25 Mei 2019

Pendapat Bima Arya Terkait Pemilu Serentak 2019

Wali Kota Bogor Bima Arya menjadi keynote speaker  pada Seminar bertajuk 'Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019' yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, Sabtu (25/5/2019).

Bima Arya menyatakan, Pemilu 2019 harus diakui adalah pemilihan yang paling heboh sepanjang sejarah republik. Banyak yang bilang bahwa Pemilu di Indonesia ini katanya paling rumit.

"Yang pasti tidak ada sistem Pemilu di dunia ini yang sama persis. Semua sistem yang ada itu dimodifikasi. Karena tidak ada one size. Pemilu harus sesuai dengan konstruksi sosiologi histori dan demografi satu bangsa. Jadi tidak bisa menganggap Amerika keren dengan sistem pemilihan presidennya adalah electoral college," ungkap Bima.

Lantas, apakah Pemilu 2019 layak untuk dievaluasi karena memerlukan waktu yang lama dalam penghitungan dan berujung jatuhnya korban?

Bima berpendapat, Pemilu itu baru bisa diuji apakah itu efektif atau tidak minimal sudah dilaksanakan dua hingga tiga kali Pemilu.

"Penyakit bangsa kita begitu kejadian langsung bongkar. Pelajari berbagai macam sistem Pemilu di berbagai negara. Setelah berjalan dua atau tiga kali baru revisi kekurangannya. Jadi tidak bisa begitu ada kekurangan langsung bongkar. Fatalistik cepat dan instan," terangnya.

Bima menambahkan, sistem Presidensial dengan multipartai sangat cocok diterapkan di Indonesia.

"Tapi ada yang perlu dipertimbangkan lagi. Pertama, terlalu lama masa kampanye. Menurut saya yang harus di evaluasi adalah masa kampanye terlalu panjang. Resikonya publik jenuh, polarisasi yang semakin menguat. Pilpresnya menjadi sangat dominan. Masyarakat tidak terlalu memikirkan soal Pileg. Semua fokus pada calon  presiden. Kalau menurut saya memang harus dipastikan dulu serentak ini mau seperti apa. Jadi tidak disatukan semuanya. Pilkada juga tidak boleh disatukan dengan Pemilu nasional," bebernya.

Kedua, Bima mengaku termasuk yang berpikiran bahwa sebaiknya pemilu legislatif dulu baru pemilu presiden. Supaya orang bisa fokus memilih calon-calon legislatif yang berkualitas.

Kemudian yang berikutnya adalah soal presidential threshold. Menurutnya, sekarang ini calon presiden hanya boleh kalau didukung oleh 20 persen suara. "Menurut saya terlalu tinggi. Apa dasarnya ya itu, konflik yang sangat tegang antara cebong dan kampret. Pendapat saya harus diturunkan, saya termasuk yang meyakini turunnya 0 persen. Supaya semua partai di parlemen bisa mencalonkan presiden. Dampaknya polarisasinya akan semakin cair," tandas Bima.

Ia melanjutkan, satu hal yang tak kalah lebih penting adalah kebersamaan kita sebagai bangsa. "Ini PR kita bersama membangun kebersamaan. Harus dirawat terus," pungkasnya.

Hadir sebagai pembicara,  Ketua KPU Kota Bogor Samsudin, anggota Bawaslu Provinsi Jawa Barat Yoelianto, Ketua Konsentrasi Hukum Pemerintahan FH Unpak Edi Rohaedi. (Humpro :Tria/Indra/Pri)